MAKALAH
TEORI-TEORI SOSIAL INDONESIA
Eksistensi Pimpinan Ranting Aisyiah Congkrang dan
Perannya dalam Perubahan Sosial Budaya Pada Masyarakat Desa Congkrang,
Muntilan, Magelang Ditinjau Dari Perspektif Sejarah Berdirinya
“Disusun
dalam rangka memenuhi tugas pada mata kuliah
Teori-teori sosial Indonesia
dengan dosen pengampu Dr. Nasiwan,
M.Si.
Nama
|
:
|
Irfan Naufal Fadlhurrahman
|
NIM
|
:
|
17416241019
|
Prodi
|
:
|
Pendidikan IPS Kelas A 2017
|
Disusun
Oleh
PROGAM
STUDI PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL
FAKULTAS
ILMU SOSIAL
UNIVERSITAS
NEGERI YOGYAKARTA
2019
KATA PENGANTAR
Puji
syukur tak lupa penulis panjatkan atas nikmat, inayah, sserta hidayah yang
telah diberikan oleh Allah SWT, sehingga dalam proses penyusunan tugas akhir mata kuliah Teori-Teori Sosial Indonesia ini dapat dilaksanakan tanpa adanya suatu hambatan
yang berarti. Penulis juga mengucapkan terima kasih yang sebenar-benarnya
kepada:
1.
Dr.
Nasiwan, M.Si., selaku dosen mata kuliah Teori-Teori Sosial Indonesia yang telah membimbing dalam proses penyusunan makalah ini.
2.
Ibu
Hj. Djauharotun, yang telah memberikan izin dan meluangkan waktu menjadi
responden dalam penyusunan makalah ini.
3.
Ibu
Hj. Siti Chasanah, yang telah berkenan menjadi dalam penyusunan makalah ini.
4.
Ibu
Siti Chuzaemah, yang telah berkenan menjadi responden dalam penyusunan makalah ini.
5.
Ibu
Biljanah, yang telah berkenan menjadi responden dalam penelitian sejarah ini
6.
Bapak
Sugilar, selaku tokoh masyarakat yang sudah berkenan menjadi responden penulis
dalam penelitian sejarah ini.
7.
Serta
seluruh pihak yaang terlibat dalam proses penyusunan penelitia sejarah ini.
Semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi pihak-pihak yang
akan menggunakan makalah ini, dan penulis juga memohon maaf yang
sebesar-besarnya, jika dalam penulisan dan penyusunan makalah ini terdapat kesalahan ataupun sikap penulis yang
kurang berkenan baik bagi pembaca maupun yang telah menjadi responden
Congkrang, 7 Desember 2019
Penulis
|
|
Irfan Naufal Fadlhurrahman
|
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
Aisyiah sebagai Sebuah organisasi
otonom yang memiliki peran penting di dalam masyarakat tentunya memiliki
berbagai macam pimpinan dimasing-masing daerah, cabang, dan ranting. Salah satu
pimpinan ranting Aisyiah yang masih
eksis di Indonesia
adalah Pimpinan Ranting Aisyiah Congkrang yang terletak di Desa Congkrang,
Kecamatan Muntilan, Kabupaten Magelang, Provinsi Jawa Tengah. Dalam hal ini
penulis tertarik tentang bagaimana Eksistensi
Pimpinan Ranting Aisyiah Congkrang dan Perannya dalam Perubahan Sosial Budaya
pada Masyarakat Desa Congkrang, Muntilan, Magelang.
Berbagai pertanyaan yang timbul
dalam pikiran penulis seperti perubahan
sosial dan budaya apa saja yang berubah akibat eksistensi dan berdirinya
organisasi tersebut? Teori-teori perubahan sosial apa saja yang bisa menjadi
landasan teori dalam menganalisis kasus tersebut? mengapa
organisasi tersebut terbentuk? Siapa pelopor pembentukan organisasi tersebut?
Bagaimana sejarah terbentuknya? Bagaimana organisasi tersebut dapat merubah
aqidah dan kultur masyarakat Desa Congkrang? Serta berbagai macam
pertanyaan-pertanyaan lainnya yang dalam proses mendapatkan jawabannya perlu
dilakukan pengkajian
dan penulisan lebih lanjut.
Berawal dari rasa keingintahuan dan
kebutuhan yang dirasakan oleh masyarakat di Desa Congkrang dan Pimpinan Ranting
Aisyiah Congkrang, maka penulis mengambil Eksistensi
Pimpinan Ranting Aisyiah Congkrang dan Perannya dalam Perubahan Sosial Budaya
Pada Masyarakat Desa Congkrang, Muntilan, Magelang Ditinjau Dari Perspektif
Sejarah Berdirinya
yang disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Teori Sosial Indonesia
yang diampu oleh Dr. Nasiwan,
M.Si.
1. Apa saja teori-teori mengenai perubahan sosial?
2. Apa yang dimaksud dengan kebudayaan?
3. Apa yang dimaksud dengan perubahan sosial budaya?
4. Bagaimana sejarah pembentukan dan perkembangan
Pimpinan Ranting Aisyiah Congkrang?
5. Bagaimana
keterkaitan antara terbentuknya Pimpinan Ranting Aisyiah Congkrang dengan
perubahan sosial budaya masyarakat
Desa Congkrang?
1.
Untuk mengetahui
teori-teori perubahan sosial.
2.
Untuk mengetahui
pengertian kebudayaan.
3.
Untuk mengetahui
maksud dari perubahan sosial budaya.
4.
Untuk mengetahui
sejarah pembentukan Pimpinan Ranting Aisyiah Congkrang
5.
Untuk mengetahui
keterkaitan
antara terbentuknya Pimpinan Ranting Aisyiah Congkrang dengan perubahan sosial budaya masyarakat Desa Congkrang
1.
Makalah ini
dapat bermanfaat dalam memberikan informasi mengenai sejarah berdirinya
Pimpinan Ranting Aisyiah Congkrang
2.
Makalah ini
dapat dijadikan salah satu sumber bagi pihak-pihak yang berkepentingan.
3.
Makalah ini
dapat memberikan pemahaman mengenai teori-teori perubahan sosial.
4.
Makalah ini
dapat memberikan pemahaman mengenai definisi kebudayaan dan perkembangan
kebudayaan.
BAB II PEMBAHASAN
Terdapat berbagai tokoh Indonesia yang mengemukakan
teori mengenai perubahan sosial. Teori-teori tersebut merupakan hasil dari
pemikiran, ide, maupun gagasan para tokoh pencetus teori perubahan sosial yang
prosesnya tidak terjadi secara instan melainkan melalui berbagai penelitian,
kajian, dan analisis mendalam yang dilakukan oleh ilmuwan sosial Indonesia. Pendapat
mengenai teori perubahan sosial diambil dari ilmuwan-ilmuwan sosial Indonesia,
bukan ilmuwan barat karena Indonesia memiliki karakteristik tertentu yang tidak
dapat disamakan dengan semua teori perubahan sosial yang berasal dari barat.
Selain itu dalam analisisnya Pimpinan Ranting Aisyiah Congkrang lebih cocok
dianalisis melalui analisis teori-teori perubahan sosial keindonesiaan. Berikut
adalah tokoh-tokoh pencetus teori-teori perubahan sosial keindonesiaan:
Selo
Sumardjan merupakan tokoh yang berperan penting dalam perkembangan teori
perubahan sosial di Indonesia. Teori dan fokus perubahan sosialnya menjadi salah
satu referensi dan sumber utama bagi seluruh ilmuwan sosial yang ada di
Indonesia dalam menganalisis dan mengkaji perubahan sosial di Indonesia, bahkan
hingga sampai saat ini. Teori perubahan sosial Selo Sumardjan berfokus pada
perubahan dalam lembaga-lembaga masyarakat yang mempengaruhi sistem sosial,
yang di dalamnya termasuk nilai, norma, sikap, dan tingkah laku” (Nasiwan & Wahyuni, 2016) .
Melalui
teori tersebut dapat dijelaskan bahwa lembaga sosial yang ada di masyarakat
akan mempengaruhi berbagai komponen dalam masyarakat seperti nilai, norma,
sikap, dan tingkah laku. Selanjutnya Selo Sumardjan dalam (Yuristia, 2017) menjelaskan bahwa perubahan
sosial dapat diartikan sebagai segala perubahan pada lembaga-lembaga sosial
dalam suatu masyarakat. Perubahan pada lembaga-lembaga sosial tersebut
selanjutnya memiliki pengaruh terhadap sistem-sistem sosialnya, termasuk di
dalamnya nilai-nilai, pola-pola perilaku ataupun sikap-sikap dalam masyarakat
itu yang terdiri dari kelompok-kelompok sosial.
Parsudi
Suparlan merupakan seorang guru besar Universitas Indonesia sekaligus
antropolog yang dikenal ahli dalam bidang multikulturalisme, kemiskinan
perkotaan, serta antropologi perkotaan. Dalam kaitanya dengan teori perubahan
sosial, Parsudi Suparlan dalam (Heryansyah, 2017) mengemukakan bahwa perubahan
sosial merupakan wujud perubahan dalam struktur sosial dan pola hubungan
sosial. Termasuk didalamnya ialah sistem politik, sistem kekuasaan, hubungan
keluarga, dan kependudukan.
Dalam
kajiannya mengenai teori perubahan sosial, Parsudi Suparlan mengaitkan
perubahan sosial dengan perubahan sistem politik, sistem kekuasaan, hubungan
keluarga, dan kependudukan sebagai sebuah wujud perubahan dalam struktur sosial
dan pola hubungan sosial dalam suatu masyarakat.
Soerjono
Soekanto dalam (Rosana, 2011) merumuskan bahwa perubahan sosial
adalah segala perubahan-perubahan pada lembaga-lembaga kemasyarakatan di dalam
suatu masyarakat yang mempengaruhi sistem sosialnya, termasuk di dalamnya
nilai-nilai, sikap-sikap, dan pola kelakuan diantara kelompok-kelompok dalam
masyarakat.
Menurut
Soerjono Soekanto dalam (Lumintang, 2015) proses terjadinya perubahan sosial
terjadi karena memiliki ciri-ciri antara lain:
1.
Tidak ada
masyarakat yang stagnan, oleh karena itu setiap masyarakat mengalami perubahan
baik yang terjadi secara lambat maupun cepat.
2.
Perubahan-perubahan
yang terjadi pada lembaga sosial tertentu akan diikuti dengan
perubahan-perubahan pada lembaga sosial lainnya.
3.
Perubahan-perubahan
sosial biasanya mengakibatkan terjadinya disorganisasi sementara dalam rangka
menyesuaikan diri.
4.
Perubahan-perubahan
yang tidak dapat diisolir pada bidang kebendaan atau spiritual saja, oleh
karena bidang itu mempunyai kaitan timbal balik yang kuat.
5.
Secara tipelogis
makan perubahan sosial dapat dikategorikan sebagai (a)
sosial proses: the circulation of various rewords, facilities and personel
in an exiting structure; (b) segmentation the proliferation on
structural units that do not diffequalitatively from exiting units; (c) structure
change: the emerge of qualitatively now complexes of roles and
organisatio; (d) change in groups, structure: the shifts in the
composition of groups, and the level of canciosness of group, and the relation among
the group in society
Selanjutnya
Soerjono Soekanto dalam (Yuristia, 2017) membagi perubahan sosial menjadi
beberapa bentuk antara lain:
1.
Perubahan yang
terjadi secara lambat dan perubahan yang terjadi secara cepat.
2.
Perubahan kecil
dan perubahan besar.
3.
Perubahan yang
direncanakan dan perubahan yang tidak direncanakan.
Berdasarkan berbagai pendapat para tokoh di atas maka teori
perubahan sosial dapat dipahami sebagai segala perubahan-perubahan yang terjadi
pada suatu lembaga di dalam suatu masyarakat dimana hal tersebut akan
mempengaruhi sistem sosial seperti sikap atau pola perilaku antar kelompok
dalam masyarakat.
Memahami
kebudayaan tidak terlepas dari unsur pendidikan dan masyarakat. Masyarakat
merupakan obyek kebudayaan. Masyarakat memerlukan pendidikan untuk memperoleh
kebudayaan. Dalam pendidikan akan terjadi proses transfer kebudayaan dari generasi
yang satu ke generasi selanjutnya. Kemudian, masyarakat melalui segala gagasan
dan tindakannya seiring berkembangnya zaman akan menciptakan kebudayaan baru
yang dirasa memiliki manfaat baik masyarakat.
Selain
itu terdapat beberapa ahli yang memiliki pendapat mengenai apa yang dimaksud
dengan kebudayaan (Alam, 2009) :
a.
Koentjaraningrat
mendefinisikan kebudayaan sebagai keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan
hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat dan dijadikan milik
manusia dengan belajar.
b.
Parsudi Suparlan
mencoba melihat kebudayaan sebagai pengetahuan yang bersifat operasional, yaitu
sebagai keseluruhan pengetahuan yang dimiliki oleh manusia sebagai makhluk
sosial; yang isinya adalah perangkat-perangkat model pengetahuan yang secara
selektif dapat digunakan untuk memahami dan menginterpretasi lingkungan yang
dihadapi, dan untuk mendorong dan menciptakan tindakan-tindakan yang diperlukan.
c.
Menurut Ki Hajar Dewantara dalam (Ibnudin,
2018)
kebudayaan merupakan hasil perjuangan manusia oleh dua pengaruh yaitu keadaan
zaman dan alam. Kebudayaan juga menjadi bukti kejayaan manusia untuk mencapai
keselamatan dan kebahagiaan yang lahirnya bersifat tertib dan damai. Hal ini maksudnya kebudayaan itu tidak datang
dengan sendirinya kepada manusia, namun manusia perlu meraih dan
meperjuangkannya untuk mendapatkannya, yang dalam proses mendapatkan
(menciptakan) kebudayaan itu manusia dipengaruhi oleh kondisi zaman dan alam.
Menurut
Koentjaraningrat (Koentjaraningrat, 2015) kebudayaan memiliki
tiga wujud. Wujud pertama adalah wujud ideal dari kebudayaan, yakni kebudayaan
sebagai suatu kompleks dari ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma,
peraturan dan sebagainya. Selanjutnya wujud kedua kebudayaan yang sering
disebut sistem sosial, mengenai kelakuan berpola dari manusia itu sendiri.
Sistem sosial ini terdiri dari aktivitas-aktivitas manusia yang berinteraksi,
berhubungan, serta bergaul satu dengan yang lain, yang dari detik ke detik,
dari hari ke hari, dari tahun ke tahun, selalu mengikuti pola-pola tertentu
yang berdasarkan adat tata kelakuan. Lebih lanjut Koentjaraningrat menjelaskan
bahwa sebagai rangkaian aktivitas-aktivitas manusia dalam masyarakat, maka
sistem sosial ini bersifat kongkret, terjadi di sekeliling kita sehari-hari,
bisa di observasi, difoto, dan didokumentasi. Selanjutnya wujud kebudayaan yang
ketiga adalah kebudayaan fisik. Merupakan seluruh total dari hasil fisik
aktivitas, perbuatan, dan karya semua manusia dalam masyarakat, maka sifatnya
paling konkret, dan berupa benda-benda atau hal-hal yang dapat diraba, dilihat,
dan di foto.
Berdasarkan
pernyataan Koentjaraningrat tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa:
1)
Wujud kebudayaan
yang pertama sebagai suatu kompleks dari sutu gagasan, ide-ide, norma-norma,
nilai-nilai, dan sebagainya
2)
Wujud kebudayaan
kedua sebagai suatu kompleks aktivitas kelakuan berpola dari manusia dalam
masyarakat.
3)
Wujud kebudayaan
sebagai benda-benda hasil karya manusia.
Setelah
memahami teori perubahan sosial dan maksud dari kebudayaan, maka langkah
selanjutnya adalah memahami konsep perubahan sosial budaya. Nizwardi (Nizwardi, 2015) mengemukakan bahwa :
“perubahan
sosial budaya sejatinya berasal dari dua konsep yang dilihat berbeda, yakni perubahan
sosial dari kacamata sosiologi dan perubahan kebudayaan dari kacamata
antropologi. Akan tetapi dapat diartikan bahwa perubahan sosial budaya adalah
perubahan yang mencangkup hampir semua aspek kehidupan sosial budaya dari suatu
masyarakat atau komunitas. Meskipun demikian perubahan sosial budaya tidak
dapat terlepas dari penilaian tentang akibat positif atau negatif dari masyarakat
yang mengalami proses ini secara langsung”
Dari pendapat yang dikemukakan Nizwadi tersebut maka
sebenarnya dapat diketahui bahwa perubahan sosial dan kebudayaan itu memiliki
keterkaitan. Begitu juga dengan ilmu sosiologi dan ilmu antropologi. Melalui
kedua disiplin ilmu tersebut maka konsep perubahan sosial budaya dapat dipahami
dengan lebih jelas dan mendalam.
Terkait perubahan sosial budaya, Yuristia (Yuristia, 2017) menyimpulkan bahwa apabila perubahan sosial merupakan
perubahan yang terjadi pada struktur, unsur sosial, kultur, fungsi dan lembaga
dalam suatu masyarakat, maka perubahan
sosial budaya adalah perubahan yang terjadi pada unsur-unsur sosial dan unsur-unsur
budaya pada suatu masyarakat.
a.
Unsur-unsur
sosial meliputi:
v Perubahan nilai,
v Perubahan norma,
v Perubahan organisasi kemasyarakatan,
v Status sosial.
v Peran sosial,
v Dan lain sebagainya
b.
Unsur-unsur
budaya meliputi:
v Adat istiadat
v Kepercayaan
v Kesenian
v Pengetahuan
v Ide dan gagasan
I.
Awal
Munculnya Pimpinan Ranting Aisyiah Congkrang
Awal
mula terbentuknya PRA (Pimpinan Ranting Aisyiah) Congkrang tidak terlepas dari rasa
keprihatinan Djauharatun yang saat itu masih seorang ibu muda terhadap kondisi
masyarakat di Desa Congkrang, Kecamatan Muntilan, Kabupaten Magelang. Kondisi
masyarakat saat itu yang masih dipenuhi oleh tradisi-tradisi yang tidak sesuai
dengan ajaran agama Islam seperti genduri, sesajen, menganggap keramat sebuah
benda, dan tindakan tindakan yang bertentangan dengan agama Islam lainnya
meskipun warga di daerah tersebut mengaku beragama Islam (Djauharotun, 2018) . Djauharatun yang bukan asli warga Congkrang
karena dinikahi oleh Daludji yang warga asli Desa Congkrang, merasa aneh,
prihatin dan heran dengan kondisi masyarakat Desa Congkrang. Melalui suaminya
dan mertua, Djauharotun bertanya-tanya mengenai segala hal yang berkaitan
dengan Penduduk Desa Congkrang, mulai dari tradisi turun temurun,
adat-istiadat, dan kondisi masyarakat Desa Congkrang itu sendiri. Setelah
mengetahui berbagai macam informasi dan karakteristik masyarakat Desa
Congkrang, Djauharotun memutuskan untuk
melakukan pembenaran dan pelurusan ajaran Islam di Desa Congkrang melalui
dakwah yang ia mulai dari suami, mertua dan saudara-saudaranya di Desa
Congkrang, selanjutnya dilanjutkan dengan berdakwah di Dusunnya sendiri, yakni
Dusun Kedon. Dakwah yang dilakukan oleh Djauharotun dilakukan secara bertahap,
melalui langkah persuasif dan tidak memaksa, yang menjadikan masyarakat semakin
paham dan mengerti akan ajaran Islam yang sebenarnya (Djauharotun,
2018) . Langgar atau gedhek yang biasanya
bukan difungsikan sebagai tempat ibadah yang benar, melainkan digunakan sebagai
acara-acara ritual desa yang bertentangan dengan ajaran Islam yang sebenarnya,
dimanfaatkan oleh Djauharatun bersama suaminya yang sudah memahami Islam yang
sebenarnya untuk menyampaian ajaran Islam yang sebenarnya. Setelah melakukan
syiar agama selama beberapa kurun waktu, secara bertahap masyarakat mulai sadar
dan paham akan ajaran Islam yang
sebenarnya,
perlahan masyarakat Desa Congkrang telah meninggalkan tradisi turun-temurun
yang bertentangan dengan ajaran Islam yang sebenarnya dan malah hanya mengarah
kemusyrikan seperti sesajen-sesajen yang selalu di tempatkan di depan rumah,
pohon besar, sawah, dan tempat-tempat tertentu lainnya. Pengkeramatan
benda-benda yang dianggap mendatangan keburuntungan, berkat, keberhasilan, dan
yang dianggap dapat membuat orang yang mengkeramatkan benda tersebut dapat
menjadi lebih sejahtera dan makmur, mulai di tinggalkan secara bertahap oleh
masyarakat Desa Congkrang yang sudah sadar akan makna Ibadah dalam ajaran Islam
yang sebenarnya.
Djauharotun
mengemukakan (Djauharotun, 2018) setelah
melakukan syiar dan dakwah, dengan semakin bertambahnya orang yang mulai
meninggalkan ajaran Islam yang tidak lurus atau sebenarnya, bersama
teman-temannya pada tahun 1985
Djauharotun mendirikn perkumpulan yang dinamanakan Organisasi Aisyiah
Desa Congkrang. Saat itu, organisasi tersebut hanya terdiri dari 5 anggota saja
antara lain: Djauharotun, Chuzaemah,
Biljanah, Titik Rahayu, dan Martini. Organisasi Aisyiah tersebut juga
belum resmi pendiriannya bahkan belum memiliki SK Pendirian karena hanya
sebatas mengumpulkan pengurus dan meneruskan syiar. Organisasi Aisyiah Desa
Congkrang tersebut didirikan dengan maksud untuk menjaga kondisi masyarakat
yang sudah mulai membaik dengan memgang teguh ajaran Islam yang lurus sesuai
dengan Al-Qur’an dan Hadist. Susuan kepengurusan Organisasi Aisyiah Congkrang
yang baru terbentuk tersebut juga sangat sederhana, terdiri dari 5 susunan
pengurus, antara lain: Djauharotun
sebagai Ketua, Chuzaemah sebagai Wakil
Ketua, Biljanah sebagai sekretaris, Martini sebagai Bendahara I, dan Titik Rahayu sebagai Bendahara II (Biljanah, 2018) . Melalui kepengurusan tersebut, organisasi
Aisyiah Ranting Congkrang terus melakukan upaya, koordinsai, dan perkumpulan
untuk menemukan langkah-langkah syiar dan dakwah yang dinilai efektif serta
efisien kepada masyarakat Desa Congkrang. Secara umum kepengurusan Djauharatun ini masih sangat fokus kepada
urusan dakwah. Sebisa mungkin meningkatkan dan menambah masyarakat yang
melaksanakan ajaran Islam yang sebenarnya, tetapi dengan langkah-langkah yang
persuasif, memberikan contoh, dan tanpa sedikitpun memaksa. Alhasil, dengan
langkah-langkah yang persuasif tersebut membuat semakin bertambahnya masyarakat
Desa Congkrang yang mulai melaksanakan ajaran Islam sesuai dengan Al-Qur’an dan
Hadist tanpa lagi melakukan kemusyrikan. Selanjutnya
Biljanah (Biljanah, 2018) bahwa
penggunaan sesaji sudah mulai hilang sejak mulai terbentuknya organisasi ini.
Sekitar tahun 1987 masyarakat Dusun Kedon khususnya sudah sepenuhnya
meninggalkan ajaran-ajaran dan tradisi turun-temurun yang mengarah kemusyrikan.
Selain itu, dengan dakwah dan syiar yang terus dilakukan Organisasi Aisyiah
Congkrang, menjadikan semakin banyak wanita yang tertarik dan bergabung kedalam
kepengurusan organisasi tersebut. Mulai tahun 1988-1989 Organisasi Aisyiah
Ranting Congkrang sudah memiliki anggota sebanyak 16 anggota yang awalnya hanya
terdiri dari 5 pengurus saja. Dimulai dari
Siti Chasanah pada awal tahun 1988,
Siti Hartatik, Rofiah, Titik Nabsiyah, Suciati,
Pujianingsih dan Sulistinah pada
pertengahan tahun 1988, lalu disusul oleh
Haadi Sarjono, Hadi Widarto, Habib, dan
Siti Sumiyati pada tahun 1989. Biljanah
(Biljanah, 2018) menerangkan bahwa anggota-anggota
baru tersebut juga aktif dalam melaksanakan program dakwah serta syiar yang
dilakukan Organisasi Ranting Aisyiah. Dengan anggota yang sudah bertambah
banyak tersebut, maka syiar dan dakwah sudah dilakukan secara terarah dan luas.
Satu persatu masyarakat di Setiap Dusun mulai melaksanakan ajaran Islam sesuai
tuntunan Al Qur’an dan Hadist serta sudah meninggalkan ajaran yang mengandung
kemusyrikan. Setalah Dusun Kedon yang masyarakatnya semakin membaik, Dakwah
dilanjutkan ke Dusun yang lain, kali ini yaitu Dusun Congkrang dan Semawe. Djauharotun (Djauharotun, 2018)
memutuskan untuk melanjutkan dakwah di Dusun Congkrang dan Semawe karena
mempertimbangkan anggota dan pengurus yang banyak berasal dari kedua dusun
tersebut, sehingga diyakini akan mempermudah dakwah dan syiar di kedua dusun
tersebut.
Masa kepemimpinan Siti Chuzaemah sudah memiliki SK (Surat
Keputusan) pendirian organisasi. Mulai kepemimpinan Siti Chuzaemah secara resmi organisasi
Aisyiah di Desa Congkrang dibentuk melalui musyawarah anggota dan keputusan
Pimpinan Cabang Aisyiah Muntilan dengan nama Pimpinan Ranting Aisyiah
Congkrang. Meskipun bisa saja
Djauharotun menjadi Ketua Pimpinan Ranting Aisyiah Congkrang kembali,
akan tetapi Djauharotun pada masa kepemimpinan Siti Chuzaemah ini menjadi pengurus dengan
bidang Urusan Dakwah. Hal ini dikarenakan beliau sudah menjadi pengurus di
Pimpinan Cabang Aisyiah Congkrang yang sesuai aturannya tidak dapat menjabat
sebagai ketua di tingkat ranting. Berdasarkan
surat keputusan pendirian (Muntilan, 1992) Pada masa
kepemimpinan Siti Chuzaemah ini susuan
kepengurusan tidak jauh berbeda dari masa kepemimpinan Djauharotun.
Biljanah tetap menjadi sekretaris, serta
Martini sebagai Bendahara.
Berikut adalah susunan kepengurusan
Pimpinan Ranting Aisyiah Congkrang masa kepemimpinan Siti Chuzaemah pada periode (1990-1995):
(Surat keputusan terlampir di lampiran)
1)
Ketua : Siti Chuzaemah
2)
Wakil Ketua I :
Titk Rahayu
3)
Wakil Ketua II : Tamyis
4)
Sekretaris I : Biljanah
Sekretaris
II : Sri Hartatik
5)
Bendahara I : Martini
Bendahara II :
Pujianingsih
Urusan Dakwah : Djauharotun,
Munzaenab
Urusan Pendidikan : Rofiah,
Suliyah
Urusan Ekonomi : Titik Nabsiyah, Siti Khasanah
Urusan PKU : Suciati
Pembantu Umum :
1)
Hadi Sarjono
2)
Hadi Widarto
3)
Hadi Sulistinah
4)
Habib
5)
Siti Sumiyati
Pada masa
kepeimpinan Siti Chuzaemah yang pertama
yakni tahun 1990-1997 (meskipun dalam SK 1990-1995, akan tetapi dalam
realitanya kepengurusannya sampai pada tahun 1997), program kerja yang
dilaksanakan masih meneruskan program kerja sebelumnya yakni tetap fokus
terlebih dahulu terhadap urusan dakwah. Sedangkan
yang membedakan dengan masa kepemimpinan sebelumnya, dalam hal dakwah dan
tabligh, pada masa kepemimpinan Siti
Chuzaemah cakupan syiar atau dakwahnya sudah lebih luas lagi, yakni dilanjutkan
ke Dusun Majan dan Besaran, sehingga dalam hal dakwah Pimpinan Ranting Aisyiah
Congkrang sudah melakukan proses dakwah dengan cakupan wilayah 5 dari 6 Dusun
yanng ada di Desa Congkrang. Selain
itu setiap kegiatan dakwah juga sudah terkoodinir dengan sangat baik, setiap
mengadakan acara dakwah sudah memiliki kas dan usaha sendiri melalui urusan
bidang ekonomi. Dalam masa ini Siti
Chazanah menerangkan bahwa (Chasanah, 2018) sudah didirikan
usaha-usaha yang dapat menunjang
kebutuhan ekonomi jika suatu waktu Pimpinn Ranting Aisyiah Congkrang
membutuhkan dana dalam urusan dakwah. Sedangkan pada masa kepemimpinan Siti Chuzaemah periode kedua yakni tahun
1997-2001, memiliki susuan kepengrusuan yang tetap dan tidak berubah dari
kepengurusan periode sebelumnya. Pada masa ini sudah didirikan Pimpinan Ranting
Muhamadiyah Congkrang dengan Ketuanya Bapak Muhroji (Djauharotun, 2018) .
Selanjutnya Siti Chazanah memaparkan (Chasanah, 2018) bahwa Pimpinan
Ranting Aisyiah Congkrang melalui kepemimpinan Siti Chuzaemah bersama dengan
Pimpinan Ranting Muhammadiyah bekerjasama dalam bidang syiar, dakwah dan
tabligh dengan membangun masjid yang bernama masjid Al-Hidayah di Dusun Kedon
yang awalnya berupa langgar. Dana pembangunan Masjid Al-Hidayah berasal dari
infaq dan penggalangan dana yang dilakukan oleh Pimpinan Ranting Aisyiah
Congkrang dan Pimpinan Ranting Muhammadiyah Congkrang. Pada masa ini juga Siti Chuzaemah sudah mengadakan dan
melaksanakan program kerja Pendidikan Mubaligh, yakni mencari dan mendidik
calon-calon mubaligh yang
ada
di Desa Congkrang (Djauharotun, 2018) . Pemuda-pemudi
yang ada di Desa Congkrang dibina dan dididik dalam bidang agama dengan
bantuan Djauharotun yang sekaligus
merupakan Pengurus Pimpinan Cabang Aisyiah Kecamatan Muntilan. Dari pembinaan
tersebut diharapkan dapat menciptakan mubaligh-mubaligh yang mampu menyebarkan
ajaran Islam dan melakukan dakwah Amal
Ma’ruf Nahi Munkar. Pembinaan
mubaligh dilakukan setiap sore di rumah
Djuharotun. Sedangkan pada periode ketiga kepemimpinan Siti Chuzaemah (2001-2006), sudah mengalami
perubahan susuan kepengurusan, antara lain:
Susuan Kepengurusan
Inti Pimpinan Ranting Aisyiah Congkrang
Periode 2001-2006 sesuai dengan SK (Muntilan, Surat Keputusan Pimpinan Cabang Aisyiah No 19/PCA/A/VI/2001 ,
2001)
(Surat
Keputusan terlampir)
1)
Ketua I : Siti Chuzaemah
2)
Ketua II : Siti Chasanah
3)
Sekretaris : Biljanah
Sekretaris II : Sri Cahayati
4)
Bendahara I : Pujianingsih
Bendahara II : Muntofiyah
5)
Penasehat : Tamizis
N.
Hadi
Widarto
Pada periode ketiga
kepemimpinan Siti Chuzaemah ini,
Pimpinan Ranting Aisyiah Congkrang bekerja sama dengan Pimpinan Ranting
Muhammdiyah Congkrang sudah membentuk panitia Ramadhan, dengan ketua Siti Chasanah. Panitia Ramdhan ini bertugas
mempersiapkan rangkaian acara selama kegiatan Ramdhan di Desa Congkrang,
Kecamatan Magelang, Kabupaten Magelang. Mulai dari aara takjil, terawih, dan
pengajian ramadhan di bulan Ramdhan. Pada masa ini juga sudah diadakan Taman
Pendidikan Al-Qur’an selama bulan Ramdhan di masjid Al-Hidayah dengan
pengampunya adalah - Aisyiah dan Takmir Masjil Al-Hidayah. Kegiatan-kegiatan
tersebut dilakukan secara rutin di setiap bulan Ramdhan. Pada masa ini
pembinaan Mubaligh masih tetap dilaksanakan dengan pembinanya yaitu Djauharotun. Selanjutnya pada masa
kepemimpinan Siti Chuzaemah periode
keempatnya (2006-2011), lima Dusun dari
enam dusun yang ada di Desa Congkrang sudah bertransformasi menjadi masyarakat
yang melaksanakan ajaran Islam sesuai dengan apa yang diajarkan Al-Qur’an dan Hadist.
Sedangkan untuk Dusun yang tersisa, yakni Dusun Demangn masih menjadi tantangan
tersendiri bagi Pimpinan Ranting Aisyiah Congkrang dan Pimpinan Ranting Muhammadiyah
Congkrang. Hal tersebut disebabkan karena masyarakat di Dusun Demangan masih
teguh memegang keyakinan Islam kejawen dan adanya misionaris Kristen yang
melakukan dakwah di Desa Demangan selama masa kepemimpinan Siti Chuzaemah pada tahun 2006-2011 ini.
Alhasil, antara Pimpinan Ranting Aisyiah Congkrang bekerjasama dengan Pimpinan
Ranting Muhammadiyah Congkrang dengan misionaris kristen saling berebut
pengaruh untuk menyampaikan agama dan keyakinannya (Chuzaemah, 2018) .
Sampai akhir kepemimpinan Siti
Chuzaemah, hal tersebut masih belum terselesaikan. Selain itu Siti Chuzaemah menjelaskan (Chuzaemah, 2018) bahwaprogram
lainnya yang telah dilaksanakan pada masa ini antara lain sudah mulainya
dibangun Taman Kanak-Kanak (TK) Aisyiah Congkrang yang berada di Dusun Kedon
pada akhir kepengurusan Siti Chuzaemah.
Taman Kanak-Kanak (TK) yang nantinya dinamakan Taman Kanak-Kanak Bustanul Alfa
Aisyiah ini diperuntukkkan kepada orangtua di Desa Congkrang atau diluar Desa
tersebut untuk dapat menyekolahkan anak-anaknya dengan biaya yang murah dan
bahkan tidak membayar sepersenpun bagi anak yatim piatu.
Berdasarkan
penjelasan Siti Chasanah (Chasanah, 2018) Masa
kepemimpinan Siti Chasanah dibagi menjadi 2 periode, yakni tahun 2011-2016 dan
2017-2021. Pada masa kepemimpinan Siti
Chasanah periode pertama (2011-2016) memiliki susunan pengurus sebagai berikut (Muntilan, Keputusan Pimpinan Cabang Aisyiah Muntilan
No: 30/PCA/A/III/2017 tentang Penetapan Personalia Pimpinan Ranting ‘Aisyiah
Congkrang periode 2011-2016, 2012) :
(Surat Keputusan terlampir)
Pada masa kepemimpinan Siti
Chasanah tahun 2011-2016 telah dialaksanakan Taman Pendidikan AL-Qur’an
(TPA) yang dilaksanakan setiap sore di
Masjid Al-Hidayah Dusun Kedon. Berbeda dengan masa kepemimpinan sebelumnya,
yang mengadakan TPA hanya pada bulan Ramadhan, pada masa kepemimpinan Siti Chasanah ini, kegiatan TPA sudah
dilakukan secara rutin setiap sore kecuali hari Kamis dan Minggu karena pada
kedua hari tersebut memang dijadwalkan lr. Dalam era ini, sudah didirikan
Pimpinan Ranting Nasyiatul Aisyiah Congkrang dan Pimpinan Ranting Pemuda
Muhammadiyah Congkrang sebagai upaya kaderisasi. Angota-anggota nya pun
kebanyakan dari Mubaligh-mubaligh yang telah dibina Djauharotun selama ini.
Pengajar dari kegiatan TPA di masjid AL-Hidayah ini adalah dari Pemuda
Muhammadiyah dan Nasyiatul Aisyiah Ranting Congkrang dan dikoordinir oleh
Pimpinan Ranting Aisyiah Congkrang. Siti Chasanah (Chasanah,
2018)
menjelaskan bahwa pada masa kepemimpinannya
sudah mengadakan program dana
sosial. Dana sosial merupakan dana yang dikumpulkan oleh Pimpinan Ranting
Aisyiah Congkrang yang nantinya akan digunakan untuk membantu masyarakat Desa
Congkrang yang mengalami musibah seperti sakit, dan lainnya. Selain itu, juga
sudah diadakan dana kematian, dana kematian tersebut digunakan untuk keperluan
pembelian kain kaffan, pemandian jenazah, dan proses pemakaman, sehingga warga
yang saudara, orang tua, maupun keluarga yang berada di Desa Congkang
meninggal, tidak akan membayar
sepersenpun dan ditanggung sepenuhnya oleh dana kematian yang dikoordinasi oleh
Pimpinan Ranting Aisyiah Congkrang. Dana Sosial dan Dana Kematian ini diperoleh
dari iuran setiap masyarakat di desa Congkrang. Pada masa kepemimpinan. Siti
Chasanah ini juga sudah mengkoordinir Taman Kanak-Kanak Bustanul Alfa Aisyiah
di Dusun Kedon, Desa Congkrang yang telah mulai dibangun dari masa
kepemimpinan Siti Chuzaemah. Dalam TK
Bustanul Alfa Aisyiah ini, terbagi menjadi dua kelas sepeti TK pada umumnya
yakni kelas 0 (enol) Besar dan 0 (enol) Kecil.
Dalam TK ini terdapat
tiga pengajar dan salah satunya merangkap sebagai kepala Sekolah. Dengan
didirikannya TK Bustanul Alfa Aisyiah ini membuktikan kepedulian Pimpinan
Ranting Aisyiah Congkrang terhadap pendidikan bangsa. Agar Taman Kanak-Kanak
tersebut tetap terkoordniri dengan baik, maka Pimpinan Ranting Aisyiah
Congkrang pada masa kepemimpinan . Siti
Chasanah membentuk susuan pengurus sebagai berikut:
Pengurus tersebut
bertugas dan berfungsi mengawasi kinerja guru dan mengkoordinir segala keperluan
yang dtuhkan oleh TK ABA. Pengurus tersebut juga bertugas mencari dana untuk
membiayai anak-anak yatim piatu yang bersekolah di TK tersebut dan berupaya
melaukan usaha-usaha untuk membangun TK ABA sebaik mungkin. Selanjutya untuk masa
kepemimpinan Siti Chasanah periode 2017-2021 masih melanjutkan program-program
yang sudah ada sebelumnya. Untuk susunan
penguruspun sama, baik pengurus Pimpinan Ranting Aisyiah Congkrang maupun
Pengurus TK ABA (Djauharotun, 2018) . Djauharotun
menjelaskan mulai tahun 2017, untuk kegiatan TPA sudah
dikoordinir oleh Pimpinan Ranting Pemuda Muhammadiyah dan Pimpinan Ranting
Aisyiah Congkrang, sehingga Pimpinan
Ranting
Aisyiah Congkrang yang dipimpin oleh . Siti Chasanah hanya bertugas sebagai
pengawas dan penasehat saja, seluruh program TPA , pengajar, dan pembagian
kelas pada TPA sepenuhnya diserahkan dan dikoordinir oleh Pemuda Muhammadiyah
dan Nasyiatul Aisyiah Ranting Congkrang. Pada tahun masa ini juga Pimpinan
Ranting Aisyiah dan Pimpinan Ranting Muhammadiyah Congkrang memiliki gedung
dakwah Muhammadiyah yang terletak di Dusun Demangan, yang mengkahiri perebutan
pengaruh ajaran antara Islam dan Kristen di Dusun Demangan. Awalnya gedung
tersebut akan di gunakan sebagai sarana dakwah misionaris Kristen, akan tetapi
dengan sigap Pimpinan Ranting Aisyiah Congkrang dan Pimpinan Ranting
Muhammadiyah Congkrang membeli gedung tersebut dengan dana yang sudah mereka
kumpulkan. Kedua belah pihak antara misionaris Kristen dan Pimpinan Ranting Aisyiah
Congkrang sebelumnya tahu bahwa gedung tersebut kosong, akan tetapi Pimpinan
Ranting Asiyiah Congkrang dan Pimpinan Ranting Muhammadiyah Congkrang sudah
terlebih dahulu membeli gedung tersebut. Dengan adanya Gedung Dakwah tersebut,
diharapkan dapat dijadikan sebagai salah satu upaya untuk menyebarkan ajaran
Islam sesuai Al-Qur’an dan Hadist di Dusun Demangan. Saat ini gedung dakwah
tersebut digunakan oleh organisasi Muhammadiyah dan Aisyiah di Desa Congkrang
baik Pemuda Muhammadiyah , NA (Nasyiatul Aisyiah), Ranting Muhammadiyah, dan Ranting Aisyiah Congkrang untuk mengadakan berbagai acara keagamaan,
pelantikan pengurus, kajian, pengajian, dan lainnya yang berkaitan dengan
dakwah (Chuzaemah, 2018) .
5.
Keterkaitan
antara Terbentuknya Pimpinan Ranting Aisyiah Congkrang dengan Perubahan Sosial Budaya Masyarakat
Desa Congkrang
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, perubahan
sosial budaya adalah perubahan yang terjadi pada unsur-unsur sosial dan
unsur-unsur budaya pada suatu masyarakat. Tentunya perubahan unsur-unsur sosial
dan budaya pada suatu masyarakat tersebut tidak terjadi begitu saja, melainkan
terdapat campur tangan dari lembaga yang ada di suatu masyarakat tersebut.
Dalam hal ini, Pimpinan Ranting Aisyiah Congkrang merupakan lembaga yang
berperan dalam perubahan sosial budaya masyarakat di desa Congkrang.
Terbentuknya Pimpinan Ranting Aisyiah Congkrang mampu merubah sistem sosial,
nilai-nilai, norma-norma dan pla tingkah laku masyarakat di desa Congkrang.
a. Perubahan sistem kepercayaan masyarakat di desa
Congkrang.
Sebelum berdirinya Pimpinan Ranting Aisyiah Congkrang
(PRA Congkrang) sebagian masyarakat Muslim di desa Congkrang masih menganut
kepercayaan-kepercayaan seperti animisme dan dinamisme. Masyarakat masih
percaya akan penggunaan sesajen sebagai satu-satunya cara, dan bahkan dianggap
sebagai metode sakral agar doa-doa yang sedang dipanjatkan bisa tercapai (Djauharotun, 2018) . Namun setelah
berbagai dakwah dan syiar yang dilakukan oleh PRA Congkrang, sedikit demi
sedikit kepercayaan tersebut mulai luntur dan masyarakat Muslim di desa
Congkrang dalam beribadah perlahan demi perlahan mulai sesuai dengan apa yang diajarkan dalam Al-Qur’an dan Hadits.
Hal tersebut merupakan perang penting Pimpinan Ranting Aisyiah Congkrang
terhadap perubahan sosial budaya di Desa Congkrang. Pimpinan Ranting Aisyiah
Congkrang melalui berbagai ikhtiar nya
dalam mengubah penampakan ungkapan pengalaman keagamaan masyarakat Muslim di
desa Congkrang yang selama ini telah menyimpang dari ajaran Al-Qur’an dan
Hadits. Terkait penampakan ungkapan beragama Sudrajat (Sudrajat & dkk, 2016) menjelaskan bahwa penampakan
ungkapan pengalaman beragama merupakan tindakan atau praktik yang terlihat
dalam bentuk ritual atau peribadatan. Pimpinan Ranting Aisyiah Congkrang
sebagai lembaga yang berada diantara masyarakat mampu mengubah sistem
kepercayaan, yakni dari tata cara beribadah masyarakat muslim di Desa Congkrang
yang menyimpang atau tidak sesuai dengan Al-Qur’an dan Hadits.
b. Perubahan adat istiadat masyarakat di Desa Congkrang.
Pimpinan Ranting Aisyiah Congkrang (PRA Congkrang)
memberikan pembinaan keimanan yang utama (Fitrah
keimanan) terhadap adat istiadat atau sesuatu yang yang dilakukan
masyarakat di desa Congkrang secara berulang-uang dan turun-temurun, sedangkan
dalam prakteknya adat istiadat tersebut tidak sesuai dengan ajaran Nabi
Muhammad SAW. Hal tersebut antara lain berupa praktek kenduri dan selamatan
yang dalam tata caranya seakan-akan menyekutukan Allah SWT yang maha pengasih
lagi maha penyayang. Masyarakat muslim di desa Congkrang meminta berkah bukan
kepada Allah SWT melainkan kepada makhluk ghaib ciptaan Allah SWT seperti
roh-roh penjaga rumah, penunggu gerojogan (air terjun kecil yang ada di desa
Congkrang) dan meminta pertolongan kepada selain Allah SWT. Fitrah
keimanan yang utama akan menentukan tumbuhnya keimanan yang lainnya adalah
keimanan kepada Allah SWT. Siapa pun yang memiliki kekokohan keimanan kepada
Allah SWT, secara otomatis akan meyakini adanya malaikat, Rasul-rasul-Nya,
kebenaran kitab-kitab-Nya, hari akhir dan ketetapan qadha dan qadar-Nya (Sudrajat & dkk, 2016) . Melalui pembinaan
keimanan yang utama tersebut akhirnya Pimpinan Ranting Aisyiah Congkrang dapat
meluruskan adat istiadat yang menyimpang dari ajaran agama islam tersebut.
c. Perubahan organisasi kemasyarakatan di Desa Congkrang
Hadirnya Pimpinan Ranting Aisyiah Congkrang yang mampu
mengubah sistem sosial dan unsur budaya di desa Congkrang mengakibatkan
perubahan pada organisasi masyarakat lainnya. Hal tersebut sesuai dengan teori
perubahan sosial Soerjono Soekanto yang menjelaskan bahwa perubahan-perubahan
yang terjadi pada lembaga sosial tertentu akan diikuti dengan
perubahan-perubahan pada lembaga sosial lainnya. Organisasi kepemudaan di desa
Congkrang pun pada setiap dusunnya terdapat organisasi yang bergerak bidang
keagamaan. Di setiap dusun yang ada di desa Congkrang sudah memiliki organisasi
remaja masjid di bawah bimbingan takmir masjid masing-masing. Djauharotun (Djauharotun, 2018) menjelaskan
bahwasanya semenjak aktifnya Pimpinan Ranting Aisyiah Congkrang, banyak sekali
munculnya remaja-remaja yang membentuk organisasi masyarakat di bidang
keagamaan, salah satunya Djauharotun menjelaskan ditandainya dengan munculnya
Pimpinan Ranting Pemuda Muhamadiyah Congkrang (PRPM) dan Remaja Islam dusun
Kedon Al-Hidayah (REIKSE AL-Hidayah)
d. Perubahan kesenian yang ada di desa Congkrang
Pada mulanya sebelum munculnya Pimpinan Ranting
Aisyiah Congkrang, masyarakat sangat gemar menampilkan kesenian topeng ireng
yang dalam penampilannya menggunakan jin untuk memasuki tubuh sang penari.
Namun setelah hdirny PRA Congkrang, masyarakat sudah berganti mulai menyukai
kesenian hadroh dengan dibuktikannya acara-acara dusun yang mengundang grub
atau kelompok hadroh untuk tampil dalam mengisi suatu acara di dusun.
a. Berdasarkan hasil wawancara dengan Djauharotun sebagai
salah satu tokoh masyarakat di sana, masyarakat di desa Congkrang memang sudah
memiliki pemikiran yang mulai terbuka terhadap budaya baru. Hanya saja sebelum
munculnya PRA Congkrang, belum ada lembaga yang melakukan syiar dan dakwah di
desa Congkrang secara aktif.
b. Pola perilaku masyarakat desa Congkrang sejak awal
memang cenderung lebih menghargai orang lain dan tidak langsung emosi apabila
terdapat orang lain yang akan memberikan pendapatnya.
c. Djauharotun sendiri merupakan seorang istri dan
menantu dari tokoh masyarakat penting di dusun Kedon, Congkrang. Ayah mertunya
merupakan seorang lurah atau kepala desa, sedangkan suaminya adalah seorang
guru di sekolah dasar dan sering disebut mas guru, sehingga memudahkan langkah
Djauharotun untuk berdakwah dan menyebarkan syariat Islam di kalangan penduduk
desa Congkrang.
d. Semangat dakwah yang pantang menyerah menjadikan
pelurusan akhlak, akidah, dan ibadah pada masyarakat desa Congkrang menjadi
faktor pendorong perubahan di desa Congkrang. Djauharotun menjelaskan, pengurus
PRA Congkrang terus melakukan syiar dan dakwah islam meskipun perubahan sikap
masyarakat tumbuh sedikit demi sedikit.
BAB III PENUTUP
Perubahan sosial budaya adalah perubahan yang terjadi
pada unsur-unsur sosial dan unsur-unsur budaya pada suatu masyarakat. Unsur-unsur
sosial meliputi perubahan nilai, perubahan norma, perubahan organisasi kemasyarakatan,
status sosial. peran sosial, dan lain sebagainya unsur-unsur budaya meliputi adat
istiadat kepercayaan, kesenian, pengetahuan ide dan gagasan. Perubahan sosial
budaya dalam suatu masyarakat tidak terjadi sendiri, melainkan terjadi akibat
muncul dan berubahnya lembaga yang ada dalam suatu masyarakat. Setiap perubahan
yang terjadi pada suatu lembaga sosial pun juga akan terjadi kepada lembaga
sosial yang lainnya.
Pimpinan
Ranting Aisyiah Congkrang sebagai organisasi yang eksistensinya masih ada hingga saat ini
memiliki peranan yang besar terhadap perubahan sosial budaya
pada masyarakat desa Congkrang. Arah perubahan yang dicapai juga mengarah ke arah yang lebih maju (progress).
Dilihat dari
unsur perubahan sosial budaya yakni berupa kepercayaan dan adat
istiadat, mungkin jika tidak ada Pimpinan Ranting
Aisyiah Congkrang, masyarakat Desa Congkrang akan tetap terjerumus kedalam
kesesatan dan kemusyrikan karena praktek ajaran Islam yang salah. Oleh karena
itu, Pimpinan Ranting Aisyiah Congkrang dapat dianggap sebagai pelurus aqidah, akhlak, dan ibadah
masyarakat Desa Congkrang. Selain itu, beridirinya Pimpinan Ranting Asiysiah
Congkrang tidak terlepas dari peran Djauharotun
sebgai pendiri organisasi tersebut, meskipun baru resmi melalui SK pada masa
kepimpinan Siti Chuzaemah, akan
tetapi . Djauharotunlah yang pertama
menyadari haruslah dibentuknya organisasi Aisyiah sebagai upaya pelurusan
akidah, akhlak, dan ibadah masyarakat di Desa Congkrang agar masayarakat dapat
mempraktekan ajaran Islam yang sebenar-benarnya
Perubahan
sosial budaya yang terjadi dalam suatu masyarakat sebaiknya tidak dianggap
sebagai suatu hal yang wajar ataupun biasa, melainkan dapat menjadi suatu hal yang menarik dengan diteliti
dan dikaji apa yang menjadi penyebab perubahan sosial tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Alam, B. (2009, Oktober 13). Globalisasi
dan Perubahan Budaya:. Retrieved from Antropologi Indonesia:
http://journal.ui.ac.id/index.php/jai/article/view/3325 (diakses 15 Desember
2018 pukul 4.32 WIB)
Biljanah. (2018, Desember 22). Awal Mula Pembentukan Pimpinan Ranting
Aisyiah Congkrang. (I. N. Fadlhurrahman, Interviewer)
Chasanah, S. (2018, Januari 22). Sejarah Perkembangan Pimpinan Ranting
Aisyiah Congkrang dan Dampaknya bagi Masyarakat. (I. N. Fadlhurrahman,
Interviewer)
Chuzaemah, S. (2018, Desember 23). Kebijakan dan Langkah Pimpinan
Ranting Aisyiah Congkrang. (I. N. Fadlhurrahman, Interviewer)
Djauharotun. (2018, Desember 20). Proses Terbentuknya Pimpinan Ranting
Aisyiah Congkrang. (I. N. Fadlhurrahman, Interviewer)
Heryansyah, T. (2017, November 21). 7 Pengertian Perubahan Sosial
Menurut Para Ahli. Retrieved from ruangguru:
https://blog.ruangguru.com/7-pengertian-perubahan-sosial-menurut-para-ahli
(diakses pada 12 Desember 2018 pukul 22.49 WIB)
Ibnudin. (2018). 7 Unsur Kebudayaan Universal Menurut
Koentjaraningrat dan Para Ahli. Retrieved from ibnudin.net: https://ibnudin.net/pengertian-ciri-unsur-kebudayaan/
(diakses pada 2 November 2018 pukul 21.56 WIB)
Koentjaraningrat. (2015). Kebudayaan, Mentalitas, dan Pembangunan.
Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Lumintang, J. (2015). Pengaruh Perubahan Sosial terhadap Kemajuan
Pembangunan Masyrakat di Desa Tara-Tara I. E-journal Acta Diurna, 5.
Muntilan, P. C. (1992, Apirl 12). Keputusan Tentang Pengesahan Pimpinan.
Muntilan, Jawa Yengah, Indonesia.
Muntilan, P. C. (2001, Juli 24). Surat Keputusan Pimpinan Cabang Aisyiah
No 19/PCA/A/VI/2001 . Muntilan, Jawa Tengah, Indonesia.
Muntilan, P. C. (2012, Februari 5). Keputusan Pimpinan Cabang Aisyiah
Muntilan No: 30/PCA/A/III/2017 tentang Penetapan Personalia Pimpinan Ranting
‘Aisyiah Congkrang periode 2011-2016. Muntilan, Jawa Tengah, Indonesia.
Nasiwan, & Wahyuni, Y. S. (2016). Seri Teori-Teori Sosial
Indonesia. Yogyakarta: UNY Press.
Nizwardi. (2015). Perangkat Kuliah Landasan Ilmu Pendidikan.
Padang: UNP Press.
Rosana, E. (2011). Modernisasi dan Perubahan Sosial. Jurnal TAPIs,
34-35.
Sudrajat, A., & dkk. (2016). Dinul Islam Pendidikan Agama Islam
di Perguruan Tinggi. Yogyakarta: UNY Press.
Yuristia, A. (2017). Keterkaitan Pendidikan, Perubahan Sosial Budaya,
Modernisasi, dan Pembangunan. Junral Program Studi Pendidikan Ilmu Pengetahuan
Sosial, 4-8.
Lampiran 1. Dokumen-Dokumen Pimpinan Ranting Aisyiah Congkrang
|
|
||
|
|
||
|
|